Selamat Datang Di KUA Kec. Grogol Petamburan Kota Administrasi Jakarta Barat. Kami Siap Melayani Anda dengan Paradigma Baru. Sesuai dengan PP 48 tahun 2014 Tarif Pelayanan Pencatatan Nikah di Kantor KUA Rp. 0,- dan Jika dikehendaki Pelaksanaan Akad Nikah di luar KUA diwajibkan menyetor Rp.600.000,- ke Kas Negara.

We are on Youtube

Jumat, 24 Oktober 2014

Memaknai Tahun Baru 1436 H.

Sahabat KUA Grogol Petamburan.

Setiap tanggal 1 Muharram kaum Muslim merayakan Tahun Baru Hijriyah. Lazimnya, umat Islam mengadakan pengajian, tablig akbar, ceramah, juga "pawai obor" yang biasanya melibatkan anak-anak.

Majelis Ulama Indonesia (MUI), seperti diberitakan berbagai media, akan merayakan tahun baru 1436 Hijriah ini secara "akbar", Minggu 26 Oktober 2014, di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.

Menurut Ketua Panitia Dr Isran Noor, perayaan ini akan menjadi tonggak persatuan umat. Umat Islam akan menunjukkan jati dirinya. "Kegiatan itu akan menjadi syi'ar agama Islam," jelasnya.

Dikatakannya, peringatan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1436 Hijriah kali ini sanggup membawa kesadaran masyarakat terhadap makna sesungguhnya, yang tak lepas peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah.

"Peringatan pada tahun ini juga diharapkan bisa mengubah perilaku masyarakat ke arah yang lebih baik," ujarnya.

Kalimat "mengubah perilaku masyarakat ke arah yang lebih baik" patut kita garisbawahi. Pasalnya, itulah makna tahun baru Islam yang sebenarnya.

Setiap memasuki tahun baru Islam, kaum Muslim hendaknya memiliki semangat baru untuk merancang dan melaksanakan hidup ini secara lebih baik.

Peristiwa HIJRAH umat Islam dari Makkah ke Madinah bukan saja mengandung nilai sejarah dan strategi perjuangan, tapi juga mengandung nilai-nilai dan pelajaran berharga bagi perbaikan kehidupan umat secara pribadi dan kejayaan kaum Muslim pada umumnya.

Maka, seyogianya dalam memaknai tahun baru Islam ini, kita menggali kembali hikmah yang terkandung di balik peristiwa hijrah yang dijadikan momentum awal perhitungan Tahun Hijriyah.

Keutamaan Tahun Hijriyah

Tahun hijriyah mulai diberlakukan pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Sistem penanggalan Islam itu tidak mengambil nama 'Tahun Muhammad' atau 'Tahun Umar'. Artinya, tidak mengandung unsur pemujaan seseorang atau penonjolan personifikasi, tidak seperti sistem penanggalan Tahun Masehi yang diambil dari gelar Nabi Isa, Al-Masih (Arab) atau Messiah (Ibrani).

Tidak juga seperti sistem penanggalan Bangsa Jepang, Tahun Samura, yang mengandung unsur pemujaan terhadap Amaterasu O Mi Kami (dewa matahari) yang diproklamasikan berlakunya untuk mengabadikan kaisar pertama yang dianggap keturunan Dewa Matahari, yakni Jimmu Tenno (naik tahta tanggal 11 pebruari 660 M yang dijadikan awal perhitungan Tahun Samura). Atau penangalan Tahun Saka bagi suku Jawa yang berasal dari Raja Aji Saka.

Menurut dongeng atau mitos, Aji Saka diyakini sebagai raja keturunan dewa yang datang dari India untuk menetap di Tanah Jawa.

Penetapan nama Tahun Hijriyah (al-Sanah al-Hijriyah) merupakan kebijaksanaan Khalifah Umar bin Khattab.

Seandainya Khalifah Umar berambisi untuk mengabadikan namanya dengan menamakan penanggalan itu dengan "Tahun Umar" sangatlah mudah baginya melakukan itu. Umar tidak mementingkan keharuman namanya atau membanggakan dirinya sebagai pencetus ide sistem penanggalaan Islam itu.

Umar malah menjadikan penanggalan itu sebagai jaman baru pengembangan Islam, karena penanggalan itu mengandung makna spiritual dan nilai historis yang amat tinggi harganya bagi agama dan umat Islam.

Selain Umar, orang yang berjasa dalam penanggalan Tahun Hijriyah adalah Ali bin Abi Thalib. Keponakan Rasulullah Saw inilah yang mencetuskan pemikiran agar penanggalan Islam dimulai penghitungannya dari peristiwa hijrah, saat umat Islam meninggalkan Makkah menuju Yatsrib (Madinah).

Dalam buku Kebangkitan Islam dalam Pembahasan (1979), Sidi Gazalba, menulis:

''Dipandang dari ilmu strategi, hijrah merupakan taktik. Strategi yang hendak dicapai adalah mengembangkan iman dan mempertahankan kaum mukminin.''

Tahap Awal Daulah Islamiyah

Hijrah adalah momentum perjalanan menuju Daulah Islamiyah yang membentuk tatanan masyarakat Islam, yang diawali dengan eratnya jalinan solidaritas sesama Muslim (ukhuwah Islamiyah) antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar.

Jalinan ukhuwah yang menciptakan integrasi umat Islam yang sangat kokoh itu telah membawa Islam mencapai kejayaan dan mengembangkan sayapnya ke berbagai penjuru bumi. Kaum Muhajirin-Anshar membuktikan, ukhuwah Islamiyah bisa membawa umat Islam jaya dan disegani.

Bisa dimengerti, jika umat Islam dewasa ini tidak disegani musuh-musuhnya, menjadi umat yang tertindas, serta menjadi bahan permainan umat lain, antara lain akibat jalinan ukhuwah Islamiyah yang tidak seerat kaum Mujahirin-Anshar.

Dari situlah mengapa konsep dan hikmah hijrah perlu dikaji ulang dan diamalkan oleh umat Islam. Setiap pergantian waktu, hari demi hari hingga tahun demi tahun, biasanya memunculkan harapan baru akan keadaan yang lebih baik.

Islam mengajarkan, hari-hari yang kita lalui hendaknya selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Dengan kata lain, setiap Muslim dituntut untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari.

Allah SWT meningatkan dalam QS 59:18,  ''Hendaklah setiap diri memperhatikan (melakukan introspeksi) tentang apa-apa yang telah diperbuatnya untuk menghadapi hari esok (alam akhirat).''

Pada awal tahun baru hijriyah ini, kita bisa merancang hidup agar lebih baik dengan hijrah, yakni mengubah perilaku buruk menjadi baik, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

''Muhajir adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah,'' sabda Rasulullah. Kita ubah ketidakpedulian terhadap kaum lemah menjadi sangat peduli dengan semangat zakat, infak, dan sedekah.

Selain itu juga mengubah permusuhan dan konflik menjadi persaudaraan dan kerja sama, mengubah pola hidup malas-malasan menjadi giat bekerja, mengubah hidup pengangguran dan peminta-minta menjadi pekerja mandiri, dan tidak bergantung pada belas kasih orang lain.

Dengan kekuatan iman dan keeratan ukhuwah Islamiyah seperti kaum Muhajirin dan Anshar, umat Islam bisa kuat dan bahu-membahu memenangkan partai Allah (hizbullah) yang menegakkan syiar Islam berasaskan tauhid dan ukhuwah, bukan memenangkan partai setan (hizbusy syaithon) yang mengibarkan bendera kebatilan.

Sejarah Tahun Baru Islam: Kalender Hijriyah

Seperti disebutkan di atas, setidaknya ada dua nama penting dalam sejarah kalender Hijriyah, yakni
Umar bin Khathab sebagai pencetus ide penetapan kalender Islam.
Ali bin Abi Thalib sebagai penggagas awal perhitungan tahun.
Dr. Hasan Ibrahim Hasan dalam Zu'amaul Islam (1953) melukiskan:

"Pada suatu hari Khalifah Umar bin Khathab memanggil dewan permusyawaratan untuk membicarakan perihal sistim penanggalan. Ali bin Ali Thalib mengusulkan agar penanggalan Islam dimulai sejak peristiwa hijrah ke Madinah sebagai momentum saat ditinggalkannya bumi musyrik. Usul Ali kemudian diterima sidang. Khalifah Umar menerima keputusan sidang dan mendekritkan berlakunya Tahun Hijriyah. Peristiwa hijrah merupakan momentum zaman baru pengembangan Islam, melandasi kedaulatan Islam serta penampilan integritas sebagai agama sepanjang zaman".

Momentum Ukhuwah Islamiyah

Sempat muncul ide, 1 Muharram ditetapkan sebagai "Hari Santri Nasional". Sebaiknya, tanggal hari santri nasional ditetapkan berdasarkan sejarah pesantren di Indonesia, misalnya pesantren pertama di Indonesia.

Jika 1 Muharram dijadikan Hari Santri Nasional, maka cakupannya akan "menyempit" menjadi hanya untuk kalangan santri atau dunia pesantren. Padahal, 1 Muharram adalah hari pertama Tahun Baru Islam (Hijriyah) yang berlaku untuk semua kaum Muslim di seluruh dunia!

Sistem Penanggalan Tahun Hijriyah merefleksikan suatu moment perjuangan umat Islam untuk tetap survive, yakni dengan hijrah dari Makkah ke Madinah.

Dimulainya penanggalan Tahun Hijriyah dari saat hijrah, menunjukan betapa kita harus menghargai dan mengambil hikmah dari peristiwa hijrah yang merupakan struggle for life (perjuangan untuk hidup), struggle for existence (perjuangan untuk menjadi terkuat), sebagaimana dikemukakan Sidi Gazalba dalam dalam Kebangkitan Islam dalam Pembahasan (1979).

Hijrah adalah momentum perjalanan menuju Daulah Islamiyah tempat tatanan masyarakat Islam terbentuk.

Pembangunan Daulah Islamiyah Madinah oleh Nabi Muhammad Saw diawali dengan:
Pembangunan masjid (Masjid Quba) sebagai sentral aktivitas umat Islam.
Penguatan rasa persaudaraan sesama Muslim (ukhuwah Islamiyah) antara kam Muhajirin dan kaum Anshar.
Penyusunan Piagam Madinah sebagai "konstitusi" Negara Islam Madinah yang mengatur hubungan antar warga masyarakat Madinah, termasuk hubungan Umat Islam dengan kaum Yahudi (non-Muslim).
Kaum Muhajirin-Anshar telah mebuktikan bahwa ukhuwah Islamiyah atau solidaritas Islam bisa membawa umat Islam jaya dan disegani musuh-musuhnya.

Daulah Islamiyah yang dibangun mereka di Madinah dengan tuntunan langsung Nabi SAW telah menunjukan toleransi yang sangat tinggi terhadap umat lain yang tidak seiman.

Maka, setiap pergantian Tahun Hijriyah, sebenarnya merupakan momentum pengeratan solidaritas sesama Muslim.

Kita harus menegakkan bahwa sesama mukmin itu saudara, bagaikan satu bangunan yang saling menguatkan.

"Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara" (Qs Al-Hujarat 10).

"Orang Mukmin satu dengan yang lainnya seperti sebuah bangunan, satu sama lain saling menguatkan" HR. Bukhari dan Muslim].

"Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya segala apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri berupa kebaikan”. [HR al-Bukhâri dan Muslim].

"Perumpamaan kaum mukminin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan bahu-membahu, seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam". [HR Bukhari, Muslim, Ahmad].

Semoga kita memahami sejarah tahun baru Islam dengan benar, menyikapinya dengan benar, juga mampu menggali maknanya dengan benar pula hingga mampu memicu semangat hijrah dalam diri, menuju iman, ilmu, dan amal yang lebih baik. Amin...!

(sumber: www.risalahislam.com).

 


Baca Selengkapnya...

Kamis, 02 Oktober 2014

Memahami Makna Filosofi Wukuf Arafah. (part 2)

Sahabat KUA Grogol Petamburan,

Melanjutkan kaji kita tentang esensi arti Wukuf....kali ini dengan merenungkan dan mentadabburi nash-nash Al-Quran dan Hadits.

Sesungguhnya bagian terpenting dan paling menentukan (sah tidaknya) dari ibadah haji adalah wukuf di Arafah; sebuah perkumpulan yang mulia dan penuh berkah. Para jamaah haji berkumpul bersama-sama menggemakan kalimat talbiyah kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Mereka berharap rahmat Allah Ta’ala, takut akan adzab-Nya, dan meminta fadhilah-Nya di hari perkumpulan teragung umat Islam dunia.

Sahabat,

Perkumpulan akbar ini mengingatkan seorang muslim akan perkumpulan yang maha dahsyat pada hari kiamat di pada mahsyar. Hari dimana manusia pertama dan yang paling terakhir dikumpulkan. Mereka semua menunggu putusan yang akan mengantarkan mereka kepada suatu kedudukan, apakah mendapat kenikmatan ataukah adzab. Hari dimana mereka dihadapkan kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,

وَعُرِضُوا عَلَى رَبِّكَ صَفًّا

“Dan mereka akan dibawa ke hadapan Tuhanmu dengan berbaris.” (QS. Al-Kahfi: 48).

Allah Jalla wa ‘Ala juga berfirman,

يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ

“Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah).” (QS. Al-Haqqah: 18).

Pada hari yang besar itu, Allah akan kumpulkan seluruh hamba-Nya sebagaimana firman-Nya,

لَيَجْمَعَنَّكُمْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَا رَيْبَ فِيهِ

“Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kamu di hari kiamat, yang tidak ada keraguan terjadinya.” (QS. An-Nisa: 87).

Firman-Nya yang lain,

يَوْمَ يَجْمَعُكُمْ لِيَوْمِ الْجَمْعِ ذَلِكَ يَوْمُ التَّغَابُنِ

“(Ingatlah) hari (dimana) Allah mengumpulkan kamu pada hari pengumpulan, itulah hari dinampakkan kesalahan-kesalahan.” (QS. At-Taghabun: 9).

Dan Dia juga berdirman,

ذَلِكَ يَوْمٌ مَجْمُوعٌ لَهُ النَّاسُ وَذَلِكَ يَوْمٌ مَشْهُودٌ

“Hari kiamat itu adalah suatu hari yang semua manusia dikumpulkan untuk (menghadapi)nya, dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh segala makhluk).” (QS. Hud: 103).

Sahabat,

Pada hari itu Allah kumpulkan manusia yang pertama dan manusia yang terakhir dalam satu tempat.

قُلْ إِنَّ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ (49) لَمَجْمُوعُونَ إِلَى مِيقَاتِ يَوْمٍ مَعْلُومٍ

“Katakanlah: “Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang terkemudian, benar-benar akan dikumpulkan di waktu tertentu pada hari yang dikenal.” (QS. Al-Waqi’ah: 49-50).

Tidak ada seorang pun yang bakal luput dari perkumpulan terbesar ini. Orang yang dahulu wafat dalam keadaan tertimpa bangunan, orang yang wafat hilang di suatu tempat, orang yang wafat karena dimangsa hewan buas, dll. Semuanya akan dikumpulkan, tanpa satu pun yang terluput. Allah Ta’ala berfirman,

وَحَشَرْنَاهُمْ فَلَمْ نُغَادِرْ مِنْهُمْ أَحَدًا

“dan Kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak kami tinggalkan seorangpun dari mereka.” (QS. Al-Kahfi: 47).

Firman-Nya juga,

أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 147).

Firman-Nya yang lain,

إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا (93) لَقَدْ أَحْصَاهُمْ وَعَدَّهُمْ عَدًّا (94) وَكُلُّهُمْ آتِيهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَرْدًا

“Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” (QS. Maryam: 93-95).

Kita semua akan dikumpulkan di bumi yang berbeda dari bumi yang kita hidup sekarang ini. Allah Ta’ala berfirman,

يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمَاوَاتُ وَبَرَزُوا لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ

“(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan meraka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.” (QS. Ibrahim: 48).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada kita bagaimana sifat dari bumi yang menjadi tempat manusia berkumpul itu. Dari Sahl bin Saad, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى أَرْضٍ بَيْضَاءَ عَفْرَاءَ كَقُرْصَةِ النَّقِيِّ لَيْسَ فِيهَا عَلَمٌ لِأَحَدٍ

“Pada hari kiamat kelak, manusia akan dikumpulkan di bumi yang sangat putih berbentuk bulat pipih dan datar tidak ada tanda (bangunan) milik siapapun di atasnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Yakni semua manusia akan dikumpulkan di suatu tempat yang tinggi, tidak ada lembahnya, juga tidak ada pegunungan, tidak ada bebatuan besar dan tidak ada juga tempat tinggal atau bangunan.

Sahabat,

Manusia akan dikumpulkan pada hari itu tanpa mengenakan alas aki, tanpa sandal. Mereka juga dikumpulkan dalam keadaan telanjang, tanpa sehelai pakaian pun, dan belum dikhitan. Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّكُمْ مَحْشُورُونَ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلًا ثُمَّ قَرَأَ : ﴿ كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُعِيدُهُ وَعْدًا عَلَيْنَا إِنَّا كُنَّا فَاعِلِينَ ﴾ [الأنبياء:١٠٤]

“Sesungguhnya kalian dikumpulkan dalam keadaan tanpa alas kaki, telanjang, dan tidak dikhitan. (Beliau mengutip firman Allah) ‘Sebagaimana Kami telah memulai panciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya’. (QS. Al-Anbiya: 104).” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, ketika ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda;

يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلًا

“Manusia dikumpulkan pada hari kiamat dalam keadaan tanpa alas kaki, telanjang, dan tidak dikhitan.” Aisyah menanggapi, “Wahai Rasulullah, laki-laki dan wanita dikumpulkan bersama, mereka akan saling melihat?” Rasulullah menjawab,

يَا عَائِشَةُ الْأَمْرُ أَشَدُّ مِنْ أَنْ يَنْظُرَ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ

“Wahai Aisyah, urusan pada hari itu jauh lebih berat (untuk terpikirkan) melihat satu sama lainnya.”

Sahabat,

Pada hari itu, matahari turun merendah, sangat dekat di atas kepala manusia. Hingga jaraknya sekitar satu mil saja. Tidak ada naungan pada hari itu kecuali naungan arsy-Nya ar-Rahman. Siapa yang berlindung di naungan arsy, maka ia akan terlindungi. Bagi siapa yang terpapar terik matahari yang membakar, maka ia akan binasa. Saat itu manusia berdesakan dan saling mendorong antara satu dengan yang lain. Kaki-kaki saling berebut posisi. Dan leher serasa terpotong-potong karena haus.

Semua manusia berkumpul di tempat dengan matahari yang sangat terik, dengan nafas yang tersengal-sengal, dalam keadaan berdesak-desakan, dan keringat mereka membanjiri bumi. Kemudian keringat tersebut terus membanjiri dan menenggelamkan manusia berdasarkan amalan masing-masing. Berdasarkan kedudukan mereka di sisi Rabb semesta alam, termasuk orang yang berbahagia atau orang yang binasa. Di antara mereka ada yang keringatnya membanjirinya hingga mata kaki, ada yang hingga sebatas telinganya, dan ada yang tenggelam karena keringatnya. Semoga Allah memberikan keselamatan kepada kita.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَعْرَقُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَذْهَبَ عَرَقُهُمْ فِي الْأَرْضِ سَبْعِينَ ذِرَاعًا وَيُلْجِمُهُمْ حَتَّى يَبْلُغَ آذَانَهُمْ

“Pada hari kiamat, manusia berkeringat, sehingga keringat mengalir ke bumi tujuh puluh hasta dan menenggelamkan mereka hingga telingga.” (HR. Bukhari).

Dari al-Miqdad bin al-Aswad radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

تُدْنَى الشَّمْسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ الْخَلْقِ حَتَّى تَكُونَ مِنْهُمْ كَمِقْدَارِ مِيلٍ فَيَكُونُ النَّاسُ عَلَى قَدْرِ أَعْمَالِهِمْ فِي الْعَرَقِ ؛ فَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى كَعْبَيْهِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى رُكْبَتَيْهِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى حَقْوَيْهِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ الْعَرَقُ إِلْجَامًا ، قَالَ وَأَشَارَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ إِلَى فِيهِ

“Pada hari kiamat, matahari didekatkan jaraknya terhadap makhluk hingga tinggal sejauh satu mil. Maka manusia tersiksa dalam keringatnya sesuai dengan kadar amal-amalnya (yakni dosa-dosanya). Di antara mereka ada yang keringatnya sampai kedua mata kakinya. Ada yang sampai kedua betisnya. Adapula yang sampai pinggangnya. Ada juga yang keringatnya sungguh-sungguh menyiksanya.” Perawi berkata: “Rasulullah menunjuk dengan tangannya ke dalam mulutnya”.

Sahabat,

Hari itu sebanding dengan 50.000 tahun menurut perhitungan kita di dunia ini.

Allah Ta’ala berfirman,

تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.” (QS. Al-Ma’arij: 4).

Dan dalam Sahih Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا فِضَّةٍ لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلَّا إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِينُهُ وَظَهْرُهُ ، كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيدَتْ لَهُ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيَرَى سَبِيلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ

“Siapa saja yang memiliki emas atau perak tapi tidak mengeluarkan zakatnya melainkan pada hari kiamat nanti akan disepuh untuknya lempengan dari api neraka, lalu dipanaskan dalam api neraka Jahannam, lalu disetrika dahi, rusuk dan punggungnya dengan lempengan tersebut. Setiap kali dingin akan disepuh lagi dan disetrikakan kembali kepadanya pada hari yang ukurannya sama dengan lima puluh ribu tahun. Kemudian ia melihat tempat kembalinya apakah ke surga atau ke neraka.”

Sahabat,

Pada hari itu, Allah Jalla wa ‘Ala melindungi orang-orang yang beriman. Bagi orang yang beriman hari kiamat tersebut hanya berlangsung seolah-olah waktu zuhur dan asar. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَوْمُ الْقِيَامَةِ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كَقَدْرِ مَا بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ

“Lama hari kiamat bagi orang-orang beriman seperti waktu antara zuhur dan asar.” (HR. Hakim).

Kita memohon kepada Allah dengan karunianya untuk melindungi kita pada hari ini.

Orang-orang yang beriman juga akan mendapatkan perlindungan dari Allah Subhanahu waTa’ala. Mereka dinaungi oleh naungan-Nya. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman pada hari itu,

أَيْنَ الْمُتَحَابُّونَ بِجَلَالِي ، الْيَوْمَ أُظِلُّهُمْ فِي ظِلِّي يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلِّي

“Dimana orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini Aku akan menaungi mereka saat tidak ada naungan pada hari ini selain naungan-Ku.”

Pada hari itu, manusia merasakan ketakutan. Mereka mendatangi para nabi agar para nabi itu memohonkan syafaat kepada Allah agar segera memulai keputusan dan hukum untuk hamba-hamba-Nya. Para nabi itu pun tidak bisa memenuhi permintaan mereka kecuali Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sayalah untuk perkara tersebut.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun terus bersujud di bawah arsy Allah, memohon kepada-Nya. Dengan petunjuk dari Allah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji Allah dengan puja-puji yang belum pernah diucapkan oleh seorang pun sebelum beliau. Hingga kemudian Allah berfirman;

ارْفَعْ رَأْسَكَ وَسَلْ تُعْطَهْ وَاشْفَعْ تُشَفَّعْ

“Angkatlah kepalamu! Mintalah, pasti engkau akan diberi. Dan berilah syafaat, pasti akan dikabulkan.”

Saat itu, Allah ‘Azza wa Jalla membagi para hamba-Nya.

Ini adalah makna firman Allah Ta’ala,

وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا (22) وَجِيءَ يَوْمَئِذٍ بِجَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ الْإِنْسَانُ وَأَنَّى لَهُ الذِّكْرَى (23) يَقُولُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي

“Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris. Dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. Dia mengatakan: “Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini”.” (QS. Al-Fajr: 22-24).

Renungkanlah wahai hamba Allah, suatu hari yang telah dijelaskan kepada kita tentang keadaannya. Hendaknya kita bertakwa kepada Allah dan membekali diri dengan sebaik-baik perbekalan untuk kembali kepada-Nya. Allah Ta’ala menutup ayat tentang haji dengan firman-Nya,

وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

“Bertakwalah kepada Allah dan ketauhilah hanya kepada-Nya kalian akan dikumpulkan.” (QS. Al-Baqarah: 203).

Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai hamba-Nya yang bertakwa. Dan melindungi kita pada hari kebangkita itu. Hanya dengan kasih dan karunia-Nya kita bisa merasakan keamana pada hari yang ketakutan begitu mencekam.

Sahabat,

Barangsiapa yang menyadari bahwa dia akan berdiri di hadapan Allah pada hari kiamat, maka ia juga harus menyadari bahwa Allah akan menghisab dan mengaudit serta membalas amalan setiap hamba-Nya. Barangsiapa yang tahu kalau Allah akan menghisabnya dengan mempertanyakan semua perbuatannya, maka hendaknya ia menyiapkan jawaban dari pertanyaan tersebut. Siapkanlah jawaban yang benar.

Hanya Orang yang cerdas yang menundukkan hawa nafsunya, dan beramal untuk kehidupan setelah kematian. Dan hanya orang yang lemah yang selalu memperturutkan hawa nafsunya dan panjang angan-angannya.

قُوْلُ هَذَا القَوْلِ وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ يَغْفِرْ لَكُمْ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَحِيْمُ.

Baca Selengkapnya...

Memahami Makna Filosofi Wukuf Arafah 1.


Sahabat KUA Grogol Petamburan,



Salah satu rukun dari sekian banyak rukun haji yang paling utama adalah Wukuf di Arafah. Wukuf bermakna berhenti. Berasal dari kata kerja waqafa-yaqifu artinya berhenti atau berdiam.

Secara Syar’ie, wukuf itu berdiam diri di padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah mulai dari tergelincirnya matahari (setelah jam 12 siang) waktu dzhuhur hingga waktu maghrib dengan tata cara yang telah ditentukan secara syar’ie. Padang Arafah adalah salah satu daerah perbukitan di seputar kota Mekkah.

Secara filosofi, Wukuf mengandung makna menghentikan seluruh kesibukan akal, untuk kemudian bercermin, mengintrospeksi dan mengenali diri dalam rangka mengenal Allah SWT. "Man Arofa Nafsahu faqod arofa Robbahu" (orang yang mengenali dirinya dapat mengenal Tuhannya). Sedang kata Arafah secara maknawi berarti ma’rifah, yaitu mengenal. Ia berasal dari kata kerja ‘arafa-ya’rifu yang artinya mengenal. Dalam hal ini, makna mengenal diarahkan untuk lebih jauh mengenal kekuasaan dan kebesaran Tuhan Maha Pencipta Allah SWT.

Rasulullah saw bersabda :

الحَـجُّ هُوَ عَـرَفَةٌ

“Haji adalah wukuf di Arafah”

Wukuf merupakan puncak dari sekian banyak rangkaian ibadah haji. Karena itu, Rasulullah saw memberikan sinyal tentang penisbatan wukuf kepada ibadah haji itu sendiri. Haji itu ya wukuf di Arafah.

Mengapa Wukuf menjadi puncak dari ibadah haji ?

Sesuai dengan namanya bahwa wukuf adalah berdiam, berkontemplasi, bertafakkur, dan bertadabbur. Berdiam di sini bertujuan untuk mengenal dan membaca diri. Mengenal diri mengandung implikasi logis bahwa ibadah haji itu bermakna juga mengenal Allah. Tidak ada hal yang lebih tinggi dari mengenal Allah. Jika ibadah haji adalah salah satu rukun Islam yang paling tinggi derajatnya, maka wukuf menempati derajat yang paling tinggi dari sekian banyak aktifitas ibadah haji.

Setelah sebelumya memakai pakaian ihram yang bermakna mengharamkan diri dari segala yang dilarang dalam aturan-aturan ihram, maka wukuf adalah perjalanan selanjutnya dari proses pengharaman diri itu. Artinya, strategi untuk mengenal Allah hanya dapat dicapai semata-mata dengan menjaga diri dari segala sesuatu yang dilarang (oleh Allah). Pelarangan-pelarangan ketika berihram adalah simbolisasi tentang sebuah pencapaian keadaan fitrah, yakni keadaan asli dimana Allah swt sendiri menjadi Pengambil ikrar akan sebuah kesaksian. Kesaksian awal tentang sebuah pengakuan hamba akan statemen dan penegasan Tuhan. Statemen Allah swt itu adalah :

dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhan kalian?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami telah menyaksikannya”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kalian tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (al-A’raf (7) : 172)

Mengapa Tuhan mesti dikenali melalui Wukuf ?

Wukuf di padang Arafah merupakan simbolisasi dari zona ruhani. Sebuah pola untuk berma’rifat. Tak ’kan ada sebuah pencapaian tanpa memberhentikan gerak kehidupan terlebih dahulu. Dan gerak kehidupan itu bertitik pusat pada akal pikiran. Memberhentikan akal fikiran dalam gerak kehidupan bermakna mengembalikannya pada kondisi awal. Dari sinilah, seorang yang menjalankan wukuf memulai untuk bertaraqqi (memanjat) kepada alam asalnya.

Jendela terhadap dunia penampakan yang bertitik pusat pada akal pikiran itu terletak pada panca indera. Indera penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba, semuanya berpusat pada akal. Partikel-partikel dunia masuk melalui panca indera tersebut. Partikel-partikel dunia itulah yang membuat segala macam keramaian di dunia. Ia harus dikembalikan pada fitrahnya dengan cara menutup semua lobang panca indera melalui wukuf. Akal pikiran dimurnikan kembali dan dikalibrasi sehingga tidak ia bergeser terlalu jauh dari posisi yang semestinya.

Menghentikan gerak akal sementara waktu bertujuan untuk menenangkannya. Akal yang tenang akan tunduk pada jiwa yang tenang. Jiwa yang tenang adalah jiwa yang bisa kembali kepada Tuhannya. Ke arah sanalah agama mengajarkan para pemeluknya agar senantiasa mencapai satu titik ketenangan yang bisa membawa dirinya kepada hakekat kejadian awal. Kejadian awal manusia itu adalah ikrarnya di hadapan Tuhan. “alastu birabbikum, qooluu balaa syahidnaa”, bukankah Aku ini Tuhan kalian, mereka berkata; “ya kami telah bersaksi”.

Lebih lanjut, Akal yang tenang akan selalu tunduk pada jiwa yang tenang yang akan mendapatkan suntikan energy, sehingga daya tampungnya menjadi lebih luas. Pandangannya tajam terhadap tanda-tanda alam. Sensitifitas kecerdasannya akan selalu membawa kemaslahatan bagi lingkungan dan alam semesta.

27. Hai jiwa yang tenang. 28. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. 29. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, 30. Masuklah ke dalam syurga-Ku. (al-Fajr : 27-30).

Gerak akal yang muncul dari panca indera, menjadikannya terbebani oleh persoalan-persoalan dunia. Dunia telah menarik fungsi akal dan mengikat kuat manusia sehingga ia menjadi bodoh, lemah dan terpuruk. Belenggu dunia telah membawa akal sehingga ia tidak mampu berpikir untuk soal-soal yang sangat sederhana. Akal telah terpenjara oleh penampakan panca indera dan cara pandangnya terhadap dunia. Sifat-sifat buruk yang muncul dan menjadi penyakit hati berasal dari penampakan dunia masuk melalui panca indera. Kebencian, kedengkian, iri hati, sombong, riya, sum’ah, buruk sangka, sakit hati, dan penyakit-penyakit lainnya telah menjerumuskan manusia menjadi makhluk yang sangat kerdil dan terhina. Saat itulah manusia telah menjadi bodoh.

Belenggu dunia yang mengikat kuat akal pikiran manusia adalah berhala yang nyata. Ia bukan berada di luar diri (extern), tetapi di dalam diri (intern). Ia membentuk sebuah gambar yang membuat manusia menjadi senang ataupun susah. Gambar-gambar yang muncul di dalam bayangan akal pikiran telah membelenggu dan menjadi penghalang bagi manusia untuk menuju Tuhannya.

Melalui media Wukuf Arafah kesadaran dan peran akal pikiran kembali dipulihkan agar dapat menjalankan fungsi dan missi yang telah Allah berikan sehingga dapat mengendalikan gerak kehidupan ke arah yang diridhoi-Nya.

Ingat Sahabat,

Hanya Orang yang cerdas yang menundukkan hawa nafsunya, dan beramal untuk kehidupan setelah kematian. Dan hanya orang yang lemah yang selalu memperturutkan hawa nafsunya dan panjang angan-angannya. Semoga kita makin cerdas dan dicerdaskan. Amiin.
Baca Selengkapnya...

Memahami Perbedaan Penetapan Idul Adha (10 Dzul Hijjah) 1435 H / 2014 M

Pemerintah Indonesia menetapkan, 1 Dzulhijjah 1435 H jatuh pada hari Jum’at (26/09), sedang Pemerintah Arab Saudi menetapkan jatuh pada Kamis (25/09). Konsekuensi logisnya adalah terjadinya perbedaan hari Idul Adha (tanggal 10 Dzulhijjah), dan hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah); yaitu Pemerintah Indonesia menetapkan 10 Dzulhijjah 1435 H jatuh pada hari Ahad (5/10), sedang Pemerintah Arab Saudi menetapkan jatuh pada hari Sabtu (4/10) dan hari Arafah jatuh pada Jum'at (3/10).

Menurut Pelaksana Tugas Dirjen Bimas Islam Kemenag RI; Dr. Muchtar Ali, M.Hum perbedaan ini setidaknya disebabkan oleh dua hal. Pertama, saat terbenam matahari pada Rabu, 29 Dzul Qo'dah 1435 H (24/06), posisi Hilal di seluruh Indonesia pada ketinggian antara minus 0.5 derajat sampai plus 0.5 derajat. Sementara secara hisab, Pemerintah menggunakan  kriteria kesepakatan Negara MABIMS, yaitu dengan tinggi hilal 2 derajat, sudut elongasi 3 derajat, dan umur hilal sudah mencapai 8 jam.
“Sehingga untuk awal Dzulhijjah dengan ketinggian di seluruh Indonesia masih kurang dari dua derajat, sudut elongasi tidak mencapai 3 derajat, dan umur hilal belum 8 jam, maka secara hisab bulan Dzulqa’dah harus disempurnakan 30 hati dan 1 Dzulhijjah jatuh pada hari Jumat, 26 September 2014, sehingga 10 Dzulhijjah 1435H bertepatan dengan tanggal 5 Oktober 2014,” terang Muchtar Ali.

Namun, Pemerintah menetapkan awal Dzulhijjah berdasarkan sidang itsbat dengan memperhatikan hisab dan rukyat dari seluruh Indonesia. “Laporan tidak terlihatnya Hilal di seluruh Indonesia menguatkan hasil hisab sehingga umur bulan Dzulqa’dah 1435H digenapkan menjadi 30 hari dan 10 Dzulhijjah bertepatan dengan tanggal 5 Oktober 2014,” katanya.

Kedua, Indonesia dan Arab Saudi merupakan wilayah hukum yang berbeda.  Berdasarkan fatwa MUI No 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Kementerian Agama memperoleh mandat untuk menetapkan awal tiga awal bulan hijriyyah tersebut. Untuk itu, Kemenag mengadakan siding itsbat.  “Apa yang Pemerintah RI putuskan, juga diamini, disepakati dan dilaksanakan di negara-negara MABIMS (Brunei Darussalam, Malaysia dan Singapura), selain juga, sesuai dengan Fatwa MUI tentang penetapan awal bulan,” terangnya.

Sementara itu, Arab Saudi mempunyai acuan penanggalan tersendiri yaitu berdasarkan kalender Ummul Quro. Dalam situs resminya tertulis tanggal 1 Dzulhijjah bertepatan dengan tanggal 25 September 2014. Mahkamah Ulya (MA) Saudi menetapkan berdasarkan laporan terlihatnya hilal di Arab Saudi bahwa 1 Dzulhijjah bertepatan dengan tanggal 25 September 2014 sehingga Idul Adha (10 Dzulhijjah) jatuh pada 4 Oktober 2014.

Lebih lanjut dijelaskan, perbedaan antara Pemerintah Indonesia dan Saudi dalam penetapan awal bulan adalah sesuatu yang bisa saja terjadi disebabkan perbedaan mathla’ (wilayah hukmi). Itu sesuai dengan penegasan MUI bahwa penetapan awal Dzulhijjah/Idul Adha berlaku dengan mathla’ masing-masing negara. Dalam hal ini ulama telah konsesus. Indonesia dalam melaksanakan Idul Adha tidak dibenarkan mengikuti negara lain yang berbeda mathla’.

Plt Dirjen Bimas Islam berharap penjelasan ini dapat memberikan pemahaman dan menambah keyakinan dan keterangan kepada masyarakat Indonesia dalam beribadah. Dengan ditetapkannya, 1 Dzulhijjah pada Jum’at Pon, 26 September 2014, maka Hari Raya Idul Adha (10 Zulhijjah) di Indonesia, bertepatan dengan hari Ahad Pahing, 5 Oktober 2014. Oleh sebab itu dihimbau seluruh lapisan masyarakat Indonesia dapat mengedepankan Ukhuwah Islamiyyah.

Sementara itu, Anggota Tim Hisab-Ru’yat Kementerian Agama Cecep Nurwendaya menerangkan, bahwa perbedaan penetapan tanggal antara Pemerintah Indonesia dengan Kerajaan Arab Saudi sudah beberapa kali terjadi. “Dalam kurun 1975-1999, tepatnya selama 24 tahun,  ada 13 kali perbedaan penetapan tanggal antara Pemerintah Indonesia dengan Kerajaan Arab Saudi, dan kita menghargai keputusan Kerajaan Arab Saudi tersebut,” terang Tenaga Ahli dari Planetarium dan Observatorium Jakarta ini. (http://www.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=214340)
Baca Selengkapnya...

Kamis, 25 September 2014

TUNJANGAN KINERJA / REMUNERASI BAGI PNS KEMENAG RI

Hal yang menggembirakan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Lingkungan Kementerian Agama terkait Tunjangan Kinerja atau  Remunerasi yang selama ini telah ditunggu akhirnya  segera terealisasikan. Hal tersebut berdasarkan surat Menteri Keuangan Nomor : SR-583/MK.02/2014 tertanggal 25 Juni 2014.
Dalam surat yang ditujukan kepada Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) tersebut Menteri Keuangan menjelaskan bahwa Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional (KPRBN) telah menyetujui Penyesuaian Tunjangan Kinerja/TKPKN bagi pegawai di Lingkungan Kementerian Agama,, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian BUMN, Kementerian Pemuda dan Olah Raga, Badan Pertanahan Nasional, badan Informasi Geospasial, Badan Nasional  Penanggulangan Bencana, Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial dan Sekretariat Jenderal Komnas HAM.

Diputuskan pula dalam surat tersebut bahwa tunjangan kinerja diberikan per 1 Juli 2014. Adapun besaran Tunjangan Kinerja terlampir per kelas jabatan. 


Bagi Sahabat KUA Grogol Petamburan yang penasaran pingin melihat suratnya, silahkan buka tautan dibawah ini.


Lebih tegas lagi Remunerasi bagi PNS ini dituangkan dalam bentuk Peraturan Presiden No. 108 tahun 2014, yang penampakannya dapat di lihat di link :


Untuk penjelasan lebih lanjut terkait proses pencairan mengacu pada Data Kelas dan Pemangku jabatan Rmunerasi, yang dapat di lihat di :


Demikian info mengenai Tunjangan Kinerja (Remunerasi) Bagi PNS Kemenag RI, semoga ada manfaatnya..
Baca Selengkapnya...

Jumat, 12 September 2014

Tanggapan Ulama dan Tokoh Lintas Agama Tentang Nikah Lintas Agama.

Rabu 15 Zulkaedah 1435 / 10 September 2014 14:00

MUI: Gugatan UU Perkawinan Bisa Memicu Konflik

WAKIL Ketua Umum MUI Dr.(HC) KH Ma’ruf Amin menilai gugatan terhadap UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan akan menimbulkan keberatan-keberatan yang bisa berujung pada konflik di tengah masyarakat.

“Ini mengundang kemarahan, coba (lihat) nanti akan ada demo-demo yang menolak ini, dan ini justru memancing reaksi sehingga menimbulkan suasana panas,” kata KH Ma’ruf Amin di Kantor MUI Jakarta, Selasa (09/09/2014).

Dia menambahkan, gugatan itu sangat tidak menguntungkan bagi masyarakat. Selama ini, agama lain secara umum tidak sepakat adanya perkawinan beda agama. Bagi orang Hindu, misalnya, kalau ada agama lain mau menikah, harus dihindukan dulu.

“MUI sudah mengambil pendapat yang mu’tamad, tidak boleh menikah dengan penganut agama lain, seperti yang ada di sejumlah kitab fiqh, sehingga orang menikah dengan beda agama itu tidak akan memperoleh legalitas baik dari sisi agama maupun negara.” tegasnya.

Menurutnya, UU pernikahan saat ini sudah merupakan suatu penyelesaian yang baik, karena sudah disepakati oleh semua tokoh lintas agama.

Dia berharap MK menolak gugatan itu, karena kalau MK menerima gugatan itu akan mengundang masalah baru, bahkan bisa menimbulkan konflik.

[ http://www.islampos.com/mui-gugatan-uu-perkawinan-bisa-memicu-konflik-133463/ ]

Jumat 17 Zulkaedah 1435 / 12 September 2014 09:3

Didin Hafidudhin: Nikah Beda Agama Justru Merusak HAM

MANTAN Rektor Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor, Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin menolak dengan tegas upaya pihak tertentu mengajukan gugatan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pernikahan beda agama. Menurutnya jika upaya uji materi UU Perkawinan dilakukan atas alasan HAM, justru langkah tersebut telah merusak HAM itu sendiri.

“Bagi saya langkah uji materil UU perkawinan ke Mahkamah Konstitusi justru akhirnya akan merusak HAM jika akhirnya kawin beda agama dilegalkan. Perkawinan itu akan merusak keluarga bahkan merusak individu itu sendiri. Itu sih menurut penilaian saya hanya dorongan nafsu sajalah,” tegas ketua BAZNAS yang juga guru besar IPB tersebut.

“Pihak-pihak yang berusaha melegalkan kawin beda agama ingin merusak semua tatatan yang sudah mapan, saya yakin akan ditolak oleh MK, menteri agama sudah menolak, semua menolak jadi tidak ada gunanya. Yang seperti ini tidak usah didengarlah,” ujar Didin kepada Islampos usai pembukaan Rakernas BAZNAS beberapa waktu yang lalu di Jakarta.

Ketika ditanya bahwa yang mengajukan uji materi UU perkawinan ke Mahkamah Konstitusi adalah mahasiswi berkerudung, Didin dengan santai menjawab tidak ada jaminan kalau sudah berjilbab pikirannya juga benar.

“Bisa saja pakai kerudung, tapi kan tidak ada jaminan bahwa yang berkerudung otomatis pikirannya benar. Mungkin saja pas mengajukan gugatan saja kerudungnya dipakai,” pungkas Didin.[fq/islampos]

http://www.islampos.com/didin-hafidudhin-nikah-beda-agama-justru-merusak-ham-133836/

Kementerian Agama Republik Indonesia
Sabtu, 13 September 2014

Perkawinan Harus Sesuai Ajaran Agama
Jakarta (Pinmas) —- Perkawinan atau pernikahan merupakan peristiwa sakral. Bersatunya anak manusia dalam pernikahan memiliki dasar hukum yang kuat, baik dari segi agama maupun negara.

“Perkawinan yang hanya dipaksakan karena cinta tidak sesuai agama sebagian besar tidak mencapai tujuan perkawinan. Dalam ajaran Islam menghasilkan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmat,” kata Slamet Effendy Yusuf, salah satu Ketua Majelis Ulama Indonesia kepada pers di Jakarta, Jumat sore (12/09) usai rapat dengan  Majelis-Majelis Agama.

Dalam rapat tersebut Majelis-Majelis Agama membuat kesepakatan tentang perkawinan. Kesepakatan itu antara lain menyatakan bahwa perkawinan itu adalah peristiwa yang sakral. Oleh sebab itu, pada dasarnya harus dilakukan sesuai dengan ajaran agama masing-masing.

Majelis-Majelis Agama Tingkat Pusat yang terdiri dari MUI, PGI, KWI, Walubi, dan Matakin juga menyepakati bahwa negara wajib mencatat perkawinan yang sudah disahkan oleh agama sesuai UU 1 tahun 1974.

Selain itu,  kewajiban negara untuk mencatat perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan dicatatkan di catatan sipil sesuai dengan UU 23 Tahun 2006 jo UU 24 tahun 2003 tentang Administrasi Kependudukan.

Hadir dalam rapat majelis agama, Slamet Efendy Yusuf (MUI), Jerry Mumampow (PGI), YR. Edy Purwanto (KWI), Philip K Widjaja (WALUBI), Suhadi Sendjaja (WALUBI), Nyoman Udayana S.(PHDI), Yanto Jaya (PHDI), Chandra Setiawan (Matakin), dan M. Zainuddin Daulay (MUI). (ks/mkd)

Baca Selengkapnya...

Senin, 08 September 2014

MK diminta melegalkan Nikah Lintas Agama

Kasubdit Kepenghuluan Kementerian Agama RI, H. Anwar Sa'adi, MA  mengingatkan dalam status jejaring sosialnya : "Hati2 pernikahan lintas agama mulai dikampanyekan kaum liberal mengatasnamakan hak asasi manusia..."Dalam pada itu berita mengenai issu tuntutan legalisasi nikah lintas agama ini juga banyak dimuat di media massa... diantaranya :
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengharuskan perkawinan yang seagama digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).  Para pemohon yakni Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata dan Anbar Jayadi merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) yang menyebutkan 'perwakinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu'.Menurut Pemohon, aturan perkawainan dalam undang-undang tersebut akan berimplikasi pada tidak sahnya perkawinan yang dilakukan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Atau dengan kata lain, negara 'memaksa' agar setiap warga negaranya untuk mematuhi hukum agama dan kepercayaannya masing-masing dalam perkawinan. Menurut Pemohon, peraturan tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum bagi orang-orang yang hendak melakukan perkawinan di Indonesia karena penerapan hukum agama dan kepercayaan sangatlah bergantung pada interpretasi baik secara individual maupun secara institusional.  Pemohon menegaskan sudah saatnya melepaskan 'beban' negara untuk menanamkan nilai-nilai luhur agama dan kepercayaan kepada tiap warga negaranya. Menurut Pemohon, tanggung jawab tersebut harus dipikul sendiri oleh warga negara dan negara harus membiarkan masyarakat yang memutuskan berdasarkan hati nurani dan keyakinannya sendiri untuk mengikuti atau tidak mengikuti ajaran agama dan kepercayaan yang dianutnya.Dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat ('1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Menanggapi tuntutan 5 pemuda itu,  Hakim konstitusi Arief Hidayat  bahwa konstitusi Indonesia tidak sekuler, juga tidak berdasarkan agama.  "‎Konstitusi kita menganut bukan berdasarkan agama, tapi juga tidak menganut sekuler. Tapi menganut Pancasila. Artinya, sinar atau dasarnya itu Ketuhanan Yang Maha Esa," ujar Arief dalam persidangan uji materi di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (4/9/2014).


Arief menambahkan, sila pertama dari Pancasila itu menjadi landasan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sehingga para pemuda itu disarankan menyampaikan uraian permohonannya dengan landasan filosofis tersebut.  "Hukum di Indonesia harus dibangun berdasarkan prinsip-prinsip netral Ketuhanan yang Maha Esa. Bisa juga uraian dibangun berdasarkan original intent pendirian negara dari pandangan‎ Soekarno. Yang muncul perdebatan filosofis, juga ada sosiologis," ujar Arief.    "Kalau itu kita batalkan, nanti perkawinan di Indonesia menurut apa? Bisa juga minta dinyatakan tidak bertentang tapi harus dimaknai. Kalau dihapus, nanti dasarnya apa? Kalau begitu nanti sama saja UU Perkawinan dengan KUHPerdata, perkawinan menurut perdata itu sekuler, padahal tidak," ujar Arief.   ‎"Perkawinan di Indonesia itu perjanjian luhur laki-laki dan perempuan untuk membentuk keluarga. Kalau Islam mengatakan membentuk keluarga sakinah, mawadah dan warrohmah," papar Arief.Sementara itu, hakim konstitusi Wahiduddin Adams meminta perbaikan permohonan itu. Seperti legal standing dan penajaman alasan kerugian konstitusional yang dialami.  "‎Pemohon statusnya belum kawin semua ya? Mengenai legal standing-nya, kerugian hak konstitusional bersifat spesifik dan dapat dipastikan akan terjadi. Jadi di sini saya lihat kemungkinan akan terjadi pada pemohon, ya potensial akan terjadi," kata Wahiduddin Adams.



Sejatinya persoalan Nikah Lintas Agama ini telah menjadi perhatian dan pembahasan MUI, sejak tahun 2005  MUI telah mengeluarkan Fatwa No. : 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tentang PERKAWINAN BEDA AGAMA, yang intinya  MENETAPKAN :

1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.

2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.

Baca Selengkapnya...