Selamat Datang Di KUA Kec. Grogol Petamburan Kota Administrasi Jakarta Barat. Kami Siap Melayani Anda dengan Paradigma Baru. Sesuai dengan PP 48 tahun 2014 Tarif Pelayanan Pencatatan Nikah di Kantor KUA Rp. 0,- dan Jika dikehendaki Pelaksanaan Akad Nikah di luar KUA diwajibkan menyetor Rp.600.000,- ke Kas Negara.

We are on Youtube

Jumat, 12 September 2014

Tanggapan Ulama dan Tokoh Lintas Agama Tentang Nikah Lintas Agama.

Rabu 15 Zulkaedah 1435 / 10 September 2014 14:00

MUI: Gugatan UU Perkawinan Bisa Memicu Konflik

WAKIL Ketua Umum MUI Dr.(HC) KH Ma’ruf Amin menilai gugatan terhadap UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan akan menimbulkan keberatan-keberatan yang bisa berujung pada konflik di tengah masyarakat.

“Ini mengundang kemarahan, coba (lihat) nanti akan ada demo-demo yang menolak ini, dan ini justru memancing reaksi sehingga menimbulkan suasana panas,” kata KH Ma’ruf Amin di Kantor MUI Jakarta, Selasa (09/09/2014).

Dia menambahkan, gugatan itu sangat tidak menguntungkan bagi masyarakat. Selama ini, agama lain secara umum tidak sepakat adanya perkawinan beda agama. Bagi orang Hindu, misalnya, kalau ada agama lain mau menikah, harus dihindukan dulu.

“MUI sudah mengambil pendapat yang mu’tamad, tidak boleh menikah dengan penganut agama lain, seperti yang ada di sejumlah kitab fiqh, sehingga orang menikah dengan beda agama itu tidak akan memperoleh legalitas baik dari sisi agama maupun negara.” tegasnya.

Menurutnya, UU pernikahan saat ini sudah merupakan suatu penyelesaian yang baik, karena sudah disepakati oleh semua tokoh lintas agama.

Dia berharap MK menolak gugatan itu, karena kalau MK menerima gugatan itu akan mengundang masalah baru, bahkan bisa menimbulkan konflik.

[ http://www.islampos.com/mui-gugatan-uu-perkawinan-bisa-memicu-konflik-133463/ ]

Jumat 17 Zulkaedah 1435 / 12 September 2014 09:3

Didin Hafidudhin: Nikah Beda Agama Justru Merusak HAM

MANTAN Rektor Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor, Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin menolak dengan tegas upaya pihak tertentu mengajukan gugatan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pernikahan beda agama. Menurutnya jika upaya uji materi UU Perkawinan dilakukan atas alasan HAM, justru langkah tersebut telah merusak HAM itu sendiri.

“Bagi saya langkah uji materil UU perkawinan ke Mahkamah Konstitusi justru akhirnya akan merusak HAM jika akhirnya kawin beda agama dilegalkan. Perkawinan itu akan merusak keluarga bahkan merusak individu itu sendiri. Itu sih menurut penilaian saya hanya dorongan nafsu sajalah,” tegas ketua BAZNAS yang juga guru besar IPB tersebut.

“Pihak-pihak yang berusaha melegalkan kawin beda agama ingin merusak semua tatatan yang sudah mapan, saya yakin akan ditolak oleh MK, menteri agama sudah menolak, semua menolak jadi tidak ada gunanya. Yang seperti ini tidak usah didengarlah,” ujar Didin kepada Islampos usai pembukaan Rakernas BAZNAS beberapa waktu yang lalu di Jakarta.

Ketika ditanya bahwa yang mengajukan uji materi UU perkawinan ke Mahkamah Konstitusi adalah mahasiswi berkerudung, Didin dengan santai menjawab tidak ada jaminan kalau sudah berjilbab pikirannya juga benar.

“Bisa saja pakai kerudung, tapi kan tidak ada jaminan bahwa yang berkerudung otomatis pikirannya benar. Mungkin saja pas mengajukan gugatan saja kerudungnya dipakai,” pungkas Didin.[fq/islampos]

http://www.islampos.com/didin-hafidudhin-nikah-beda-agama-justru-merusak-ham-133836/

Kementerian Agama Republik Indonesia
Sabtu, 13 September 2014

Perkawinan Harus Sesuai Ajaran Agama
Jakarta (Pinmas) —- Perkawinan atau pernikahan merupakan peristiwa sakral. Bersatunya anak manusia dalam pernikahan memiliki dasar hukum yang kuat, baik dari segi agama maupun negara.

“Perkawinan yang hanya dipaksakan karena cinta tidak sesuai agama sebagian besar tidak mencapai tujuan perkawinan. Dalam ajaran Islam menghasilkan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmat,” kata Slamet Effendy Yusuf, salah satu Ketua Majelis Ulama Indonesia kepada pers di Jakarta, Jumat sore (12/09) usai rapat dengan  Majelis-Majelis Agama.

Dalam rapat tersebut Majelis-Majelis Agama membuat kesepakatan tentang perkawinan. Kesepakatan itu antara lain menyatakan bahwa perkawinan itu adalah peristiwa yang sakral. Oleh sebab itu, pada dasarnya harus dilakukan sesuai dengan ajaran agama masing-masing.

Majelis-Majelis Agama Tingkat Pusat yang terdiri dari MUI, PGI, KWI, Walubi, dan Matakin juga menyepakati bahwa negara wajib mencatat perkawinan yang sudah disahkan oleh agama sesuai UU 1 tahun 1974.

Selain itu,  kewajiban negara untuk mencatat perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan dicatatkan di catatan sipil sesuai dengan UU 23 Tahun 2006 jo UU 24 tahun 2003 tentang Administrasi Kependudukan.

Hadir dalam rapat majelis agama, Slamet Efendy Yusuf (MUI), Jerry Mumampow (PGI), YR. Edy Purwanto (KWI), Philip K Widjaja (WALUBI), Suhadi Sendjaja (WALUBI), Nyoman Udayana S.(PHDI), Yanto Jaya (PHDI), Chandra Setiawan (Matakin), dan M. Zainuddin Daulay (MUI). (ks/mkd)