Selamat Datang Di KUA Kec. Grogol Petamburan Kota Administrasi Jakarta Barat. Kami Siap Melayani Anda dengan Paradigma Baru. Sesuai dengan PP 48 tahun 2014 Tarif Pelayanan Pencatatan Nikah di Kantor KUA Rp. 0,- dan Jika dikehendaki Pelaksanaan Akad Nikah di luar KUA diwajibkan menyetor Rp.600.000,- ke Kas Negara.

We are on Youtube

Senin, 08 September 2014

MK diminta melegalkan Nikah Lintas Agama

Kasubdit Kepenghuluan Kementerian Agama RI, H. Anwar Sa'adi, MA  mengingatkan dalam status jejaring sosialnya : "Hati2 pernikahan lintas agama mulai dikampanyekan kaum liberal mengatasnamakan hak asasi manusia..."Dalam pada itu berita mengenai issu tuntutan legalisasi nikah lintas agama ini juga banyak dimuat di media massa... diantaranya :
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengharuskan perkawinan yang seagama digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).  Para pemohon yakni Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata dan Anbar Jayadi merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) yang menyebutkan 'perwakinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu'.Menurut Pemohon, aturan perkawainan dalam undang-undang tersebut akan berimplikasi pada tidak sahnya perkawinan yang dilakukan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Atau dengan kata lain, negara 'memaksa' agar setiap warga negaranya untuk mematuhi hukum agama dan kepercayaannya masing-masing dalam perkawinan. Menurut Pemohon, peraturan tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum bagi orang-orang yang hendak melakukan perkawinan di Indonesia karena penerapan hukum agama dan kepercayaan sangatlah bergantung pada interpretasi baik secara individual maupun secara institusional.  Pemohon menegaskan sudah saatnya melepaskan 'beban' negara untuk menanamkan nilai-nilai luhur agama dan kepercayaan kepada tiap warga negaranya. Menurut Pemohon, tanggung jawab tersebut harus dipikul sendiri oleh warga negara dan negara harus membiarkan masyarakat yang memutuskan berdasarkan hati nurani dan keyakinannya sendiri untuk mengikuti atau tidak mengikuti ajaran agama dan kepercayaan yang dianutnya.Dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat ('1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Menanggapi tuntutan 5 pemuda itu,  Hakim konstitusi Arief Hidayat  bahwa konstitusi Indonesia tidak sekuler, juga tidak berdasarkan agama.  "‎Konstitusi kita menganut bukan berdasarkan agama, tapi juga tidak menganut sekuler. Tapi menganut Pancasila. Artinya, sinar atau dasarnya itu Ketuhanan Yang Maha Esa," ujar Arief dalam persidangan uji materi di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (4/9/2014).


Arief menambahkan, sila pertama dari Pancasila itu menjadi landasan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sehingga para pemuda itu disarankan menyampaikan uraian permohonannya dengan landasan filosofis tersebut.  "Hukum di Indonesia harus dibangun berdasarkan prinsip-prinsip netral Ketuhanan yang Maha Esa. Bisa juga uraian dibangun berdasarkan original intent pendirian negara dari pandangan‎ Soekarno. Yang muncul perdebatan filosofis, juga ada sosiologis," ujar Arief.    "Kalau itu kita batalkan, nanti perkawinan di Indonesia menurut apa? Bisa juga minta dinyatakan tidak bertentang tapi harus dimaknai. Kalau dihapus, nanti dasarnya apa? Kalau begitu nanti sama saja UU Perkawinan dengan KUHPerdata, perkawinan menurut perdata itu sekuler, padahal tidak," ujar Arief.   ‎"Perkawinan di Indonesia itu perjanjian luhur laki-laki dan perempuan untuk membentuk keluarga. Kalau Islam mengatakan membentuk keluarga sakinah, mawadah dan warrohmah," papar Arief.Sementara itu, hakim konstitusi Wahiduddin Adams meminta perbaikan permohonan itu. Seperti legal standing dan penajaman alasan kerugian konstitusional yang dialami.  "‎Pemohon statusnya belum kawin semua ya? Mengenai legal standing-nya, kerugian hak konstitusional bersifat spesifik dan dapat dipastikan akan terjadi. Jadi di sini saya lihat kemungkinan akan terjadi pada pemohon, ya potensial akan terjadi," kata Wahiduddin Adams.



Sejatinya persoalan Nikah Lintas Agama ini telah menjadi perhatian dan pembahasan MUI, sejak tahun 2005  MUI telah mengeluarkan Fatwa No. : 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tentang PERKAWINAN BEDA AGAMA, yang intinya  MENETAPKAN :

1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.

2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.